Minggu, 06 September 2015

makalah filsafat



FILSAFAT POSTMODERN

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : FILSAFAT
Dosen Pengampu : Atika Ulfia Adlina, M.S.I
Kelas : ES/IIG


Description: Description: Description: Description: Description: D:\Logo_STAIN_Kudus_Jawa_Tengah.jpg

Disusun Oleh :
Kelompok 5
1.       M. Rahayu Effendi               (1420210236)
2.       Septiana Rini                          (1420210239)
3.       Amaliani Fahrida                  (1420210242)
4.       M. Muthohar                           (1420210243)
5.       Rofiul Murtadlo                    (1420210252)
6.       Nor Chamidah                       (1420210256)
7.       Andika M. Priyadi                (1420210262)
8.       Nur Hayati                               (1420210270)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
TAHUN AKADEMIK 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Postmodern (abad 20) pertama kali muncul di Prancis sekitar tahun 1970-an. Pada awalnya postmodern lahir terhadap kritik arsitektur, dan harus kita akui kata postmodern itu muncul sebagai bagian modernitas. Benih posmo pada awalnya tumbuh dilingkungan arsitektur. Charles Jencks dengan bukunya ‘’The lenguage of postmodern’’. Architecture (1975) menyebut postmodern sebagai upaya untuk mencari pluralisme gay aarsitektur setelah ratusan tahun terkurung satu gaya. Pada tahun 1972 bangunana yang melambangkan kemodernisasian diledakkan dengan dinamit. Peristiwa peledakan ini menandai kematian modern dan menandakan kelahiran postmodern.
Ketika postmodeern memasuki ranah filsafat, post dan modern tidak dimaksudkan sebagai sebuah periode atau waktu tetapi lebih lebih merupakan sebuah konsep yang hendak melampaui segala hal modern. Postmodern ini merupakan sebuah  kritik atas relitas modernitas yang dianggap telah gagal dalam melanjutkan proyek pencerahan. Nafas utama dari post modern adalah penolakan atas narasi-narasi besar yang muncul pada dunia modern dengan ketunggalan gangguan terhadap akal budi dan mulai memberi tempat bagi narasi-narasi kecil, lokal, tersebar, dan beraneka ragam untuk bersuara dan menampakkan dirinya. Postmodern bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif, kenyataan atau realita adalah relatif dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu sama lain.         

B.     Rumusan Masalah
1.    Bagaimana pengertian filsafat analitik dan perkembangannya?
2.    Bagaimana pemikiran Ludwig Wittgenstein  tentang filsafat analitik ?
3.    Bagaimana pemikiran Jean Paul Sartre dalam Filsafat Eksistensialisme ?
4.    Bagaimana bentuk postmodern ethics ?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian filsafat Analitik dan perkembangannya
Secara etimologi kata analitik berarti investigative, logis, mendalam, sistematis, tajam dan tersusun. Sedangkan pengertian filsafat analitik secara terminologi yaitu: Menurut Rudolph Carnap, filsafat analitik adalah pengungkapan secara sistematik tentang syntax logis (struktur gramatikal dan aturan-aturannya) dari konsep-konsep dan bahasa khususnya bahasa ilmu yang semata-mata formal. Roger jones menjelaskan arti filsafat analitik bahwa baginya tindak menganalisis berarti tindak memecah sesuatu ke dalam bagian-bagiannya. Tepat bahwa itulah yang dilakukan oleh para filosof analitik.
Filsafat analitik adalah suatu gerakan filosof Abad ke 20, khususnya di Inggris dan Amerika Serikat yang memusatkan perhatiannya pada bahasa dan mencoba menganalisa pernyataan-pernyataan (konsep-konsep, ungkapan-ungkapan kebahasaan, atau bentuk-bentuk yang logis) supaya menemukan bentuk-bentuk yang paling logis dan singkat yang cocok dengan fakta-fakta atau makna-makna yang disajikan. Yang pokok bagi filsafat analitik adalah pembentukan definisi baik yang linguistik atau nonlinguistik nyata atau yang konstektual. Filsafat analitik sendiri, secara umum, hendak mengklarifikasi makna dari penyataan dan konsep dengan menggunakan analisis bahasa.
Bila dikaji perkembangan filsafat setidaknya terdapat empat fase perkembangan pemikiran filsafat, sejak munculnya pemikiran yang pertama sampai dewasa ini, yang menghiasi panggung sejarah umat manusia. Pertama, kosmosentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan alam sebagai objek pemikiran dan wacana filsafat, yaitu yang terjadi pada zaman yunani kuno. kedua, teosentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan Tuhan sebagai pusat pembahasan filsafat, yang berkembang pada zaman abad pertengahan. Ketiga, antroposentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan manusia sebagai objek wacana filsafat, hal ini terjadi dan berkembang pada zaman modern. Keempat, logosentris yaitu fase perkembangan pemikiran filsafat yang meletakkan bahasa sebagai pusat perhatian pemikiran filsafat dan hal ini berkembang setelah abad modern sampai sekarang. Fase perkembangan terakhir ini ditandai dengan aksentuasi filosof pada bahasa yang disadarinya bahwa bahasa merupakan wahana pengungkapan peradaban manusia yang sangat kompleks itu.
Perhatian filsafat terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman Pra Sokrates, yaitu ketika Herakleitos membahas tentang hakikat segala sesuatu termasuk alam semesta. Filsafat bahasa mulai berkembang pada abad ke XX dengan telah analitik filosofik Wittgenstein tentang bahasa.
Filsafat abad modern memberikan dasar-dasar yang kokoh terhadap timbulnya filsafat analitika bahasa. Peranan rasio, indra, dan intuisi manusia sangat menentukan dalam pengenalan pengetahuan manusia. Oleh karena itu aliran rasionalisme yang menekankan otoritas akal, aliran empirisme yang menekankan peranan pengalaman indera dalam pengenalan pengetahuan manusia serta aliran kritisme Immanuel kant menjadi sangat penting sekali pengaruhnya terhadap tumbuhnya filsafat analitika bahasa terutama dalam pengungkapan realistas segala sesuatu melalui ungkapan bahasa.
B.  Ludwig Wittgenstein  (1889-1951)
Pemikiran Ludwig Wittgenstein tertuang dalam karyanya yaitu:
  1. Tractacus Logico Philosophicus (Wittgenstein I )
           Tractacus Logico Philosophicus membahas masalah masalah yang berhubungan dengan dunia, pikiran dan bahasa, kemudian menyajikan solusi yang berdasarkan logika. Ludwig berpendapat bahwa sebenarnya permasalahan filsafat terletak pada bahasa yang digunakan, sehingga bahasa perlu dilogiskan.teori ini mengungkapkan tentang teori gambar dan logika bahasa.Penggunaan bahasa dalm teori ini harus mampu mengungkapkan secara objektive fakta tentang dunia dan hal ini harus dilakukan dengan menggunakan bahasa berdasarkan logika. Dengan bahasa dapat dikatakan dengan jelas apa yang ingin dikatakan. Sedangkan untuk menjelsakan apa yang tidak dapat dikatakan menggunakan metafora dan analogi. Dalam teori ini Wittgenstein mendasarkan pada satu bahasa ideal yang memenuhi syarat logika.

2.       Philisophical Investigations (Wittgenstein II )
Teori kedua Wittgenstein ini memuat tentang teori makna dalam penggunaan ( meaning in use ) dan permainan bahasa ( language games ). Makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam kalimat, makna sebuah kalimat adalah penggunaannya dalam bahasa dan makna dalam bahasa adalah penggunaannya dalam berbagai konteks kehidupan manusia. Mengenai languge games, Wittgenstein mengatakan bahwa kita harus melihat, membaca dan memahami suatu bahasa dalam konteksnya masing-masing. Artinya ada aturan atau norma dalam menggunakan bahasa diberbagai bidang kehidupan.
Filsafat Wittgenstein relevan bagi pengembangan filsafat bahasa dalam aspek ontologis, epistimilogis, dan aksiologis.
  1. Secara Ontologis
Permainan bahasa menunjukkan hakekat kehidupan manusia dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, orang lain, masyarakat, alam serta terhadap Tuhan.
2.      Secara Epistimologis
Setiap penggunaan bahasa dalam kehidupan manusia memiliki aturannya masing-masing yang sangat beragam serta tidak terbatas.
3.      Secara Aksiologis
Penggunaan bahasa adalah sebagai sarana dalam berkomunikasi mengungkapkan suatu makna.

C.       Filsafat Eksistensialisme ( Jean Paul Sartre, 1905 – 1980 )
Selain S.kierkegaaard,  di masa filsafat postmodern terdapat filsuf besar yang menjadikan permasalahan kebebasan manusia dan ontologi yang cukup radikal .[1]  sebagai filsuf besar,  Jean tidak sekaligus membangun filsafatnya melainkan melalui beberapa tahap- tahap yang dapat di sebutkan sebagai berikut:
1.1 Tahapan awal perjalanan Jean Paul Sartre di dunia Filsafat
Tahapan
Corak Pemikiran
Ket.
I
Kesadaran individu
Tahap ini meliputi kandungan phenomenologi yang di kaitkan dengan psikologi
II
Ontologi
Karyanya yang berjudul Being and nothingness memuat akan posisi kesadaran manusia dengan pandangan ontologi yang bercirikan radikal-dualisme
III
Marxisme
Jean mengakui bahwa : “Marxisme adalah filsafat yang mengerti zaman ini, tetapi Marxisme harus belajar kepada Eksistensialisme, bahwa individu konkret itu lain dengan kolektivitas”. Serta memandang individu sebagai kebebasan.
 
Corak  pemikiran Sartre dalam Filsafat ialah ontologi dan kebebasan manusia. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
a.      Permasalahan Ontologi
Dasar ontologi Sartre sulit dipahami tanpa mengkaitkan dengan Heidegger sebagai gurunya. Dimana pokok analisa Heidegger adalah “Desain” semata-mata untuk dapat menjawab pertanyaan tentang makna “Ada” yang sebenarnya. Dan Sartre menganalisa makna “Ada” dalam arti kesadaran manusia.
Sartre memberikan pengertian ontologi sebagai: “The study of the structure of being of the existance taken as a totality” (studi tentang struktur yang ada dari yang mengada di ambil sebagai totalitas). Dengan demikian, ontologi yang dipahami Sartre menggambarkan struktur tentang Ada, bagaimana kesadaran kehadiran manusia di dunia yang bukan subtansi atau proses, serta di hubungkan dengan kebutuhannya, situasinya di dunia.
Dari pemikiran tentang Ada, justru Sartre dalam dasar ontologinya untuk mengingkari Tuhan dengan menghubungkan kebebasan dari “Ada” yang berkesadaran dan wishful thingking-nya unntuk menjadi Tuhan. Dia berkata bahwa Tuhan bukan jadi jaminan kebenaran; justru manusia itu bebas, seluruh kebenaran dan nilai, bersumber dari kebebasan manusia, yang dimutlakkan; “life has no a priori meaning”. Konsekuensinya Tuhan bukan jaminan, sebagai yang a priori. Sedangkan jika tuhan itu ada, msks secara kemutlakkan ontologis haruslah merupakan “en-soi (Being in-self) maupun “pour-soi (Being for it-self), yang di maksud dengan   dan inilah yang di cita-citakan manusia Sartre yakni menginginkan paada diri sendiri terpadu dengan keduanya.
Sartre sebagai sseorang ontologis juga  dikatakan seorang yang menganut dualisme, akan tetapi berbeda dengan dualisme Descartes maupun Kant. Dualisme Descartes terdiri dari jiwa dan badan yang keduanya berbeda. Badan adalah bagian dari kodrat yang mekanis, sedangkan jiwa (mind) adalah a pure thinking subtance. Begitu pula dualisme yang kemukakan oleh Kant yaitu phenomena dan noumena dimana phenomena yang dapat di ketahui manusia dan noumena yang bersifat  metafisik. Tetapi berbeda dengan pandangan Sartre, ialah berpendapat bahwa phenomena dapat mengatasi noumena dengan kebebasan, dia juga memberi pilihan dengan perkataan “hanya tinggal pilih,  manusia yang bebas atau mengakui Tuhan sebagai sumber nilai”.
b.      Kebebasan Manusia
                                                Menurut Sartre, bahwa manusia dalam sadar diri, dia menjadi berjarak antara diri sebagai yang disadari dengan kesadarannya.  Dan dari kesadaran inilah Sastre menerangkan kebebasan manusia sebagai suatu pengertian ontologi, hal ini berkaitan erat dengan pandangannya tentang manusia sebagai totalitas, sehingga manusia adalah kebebasan yang otonom dan mutlak.
Ada perbedaan yang sangat besar antara Sartre dengan Kierkegaard. Bagi Sartre dalam hal keterasingan manusia merupakan suatu kondisi akibat dari kebebasan mutlak manusia yang gagal, sedangakan Kierkegaard menganggap bahwa keterasingan manusia diakibatkan karena dia berdosa, yang berakibat keterasingan dengan Tuhan, dengan alam dan masyarakat yang mempunyai konsekuensi yang besar sekali dalam bidang etis[2]. 
Kebebasan manusia dalam pandangan Sartre yang mutlak juga berarah pada penolakan Tuhan sebagai pencipta dengan alasan yang sederhana yaitu “...if God gas given us an essence, this to etermine all our future actions by one original gesture” (jika Tuhan telah memberi kita esensi, hal ini untuk menentukan semua aksi masa depan kita dengan satu gerakan tangan original). Dan itu berarti dimensi-dimensi futuralnya tidak ada.
D.    PostModern Ethics
1.      Tanpa Ethical Code
Zygmunt Bauman mengemukakan bahwa pada era posmo mengunakan moralitas tanpa ethical code, tanpa sadar. Posmo berpandangan bahwa kebenaran itu selalu didekonstruk, dan future events tak dapat diprediksikan, sehingga kalaupun dikonstruk ethical code atau standar harus selalu didekonstruk dalam menghadapi perkembangan baru. Sekali lagi perlu penulis kemukakan bahwa kebenaran relatif posmo tidak berangkat dari nihilisme, melainkan berangkat dari evidensi bahwa sosok kebenaran masa depan tidak dapat diprediksi.
Meskipun tanpa ethical code atau standar, Alan Wolfe mengetengahkan bahwa kasapalitas moral makhluk manusia menjadi penjamin pelestarian mahluk mannusia. Sejalan dengan teori moral imperatif dari kant.
2.      Multiple Membership dengan Ethical Code Asimetris
Keangotaan kelompok pada era modern an posmo adalah multhiple membership. Multhiphe menbership dalam merdernisme mengunakan ethical code yang sama. Adapun multhiple membership dalam posmo membuat hubungan I-Thou menjadi asismeris. Dalam bahasa Emmanuel Levinas, kebersamaan kita mungkin sebatas zusammenmarsschieren ( berada dalam bersama dipasar, misalny), atau zusammenmarsschiersein (bersama dalam kegiatan) belum sajauh Mitsein atau minteinandersein atau togetherness (bersama dalam ikatan keluarga, dalm ikatan lembaga kerja, misalnya). Kapsitas moral makhlum manusialah yang membuat manusia mampu membuat kesepakatan moral. Aplikasi hukumnya mungkin dapat digunakan model pengembanganhukum di Amerika Serikat. Ketika tiada yang menyimpang yang merugikan orang banyak, tidak dibuat undang-undang. Ketika mulai banyak penyimpangan yang merugika orang banyak dibuang undang-undang.
Pluralisme merupakan pengakuan pada keragaman sistem struktur masyarakat. Struktur kacil-kecil dalam praktik etnik di Bosnia, Kosovo,dan otonomi daerah di Indonesia yang lebih diwarbai konflik antar entik, dan lebih jauh lagi berkembang menjadi enthic cleansing akan membuat set back mejadi trdiational tribes abad XVIII atau melahan sebelumnya. Michel Maffesoli memperkenalkan konsep new triben. new triben ini tidak lagi mempunyai ikatan kuat pada struktur, baik dalam makna biologik atau institusional. Dapat dijelaskan perbedaan perbedaan antara traditional tribes, yang polisemik, multi-fungsi, dan multhi-final, dengan new tribes, yang mengkhusus pada issue tertentu, pada tipe aksi tertentu, dan simbol tertentu. Dalam bahasa penulis, keterkaitan seseorang pada suatu struktur sosial berdasar preferensi pilihannya sendiri. Karena setiap orang memiliki multiple membership, maka keangotaan seseorang dalam new tribes akan menggunakan enthic atau moral yang asismetris dengan anggota lain.
3.      Tekhnologi hanya Means
Berfikir modern menduduki teknologi sebagai means untuk mencapai entds, dan selajutnya ends menjadi mean; proses demikian berlangsung berkelanjutan.
Tekhnologi bukan lagi dilihat sebagi proses untuk mencapai sesuatu. Tekhnologi bukan lagi pencapai sebagi proses untuk mencapai sesuatu. Tekhnologi berkembang karena didorong oleh adanya instrumen yang memungkinkan ilmuwan menjanlakan tugas meneliti. Setelah terbukti kita dapat terbang ke bulan, yang difikirkan oleh ilmuwan “apa yang dapat dikerjakan di sana?”, demikian Jacques Ellul. Lebih jauh Ellul mengemukakan bahwa tekhnologi itu tidak means dan  ensemble of mean. Ellul menentang pendapat tentang adanya tujuan dalam menciptak tekhnologi. Sebagai means ilmuawan tekhnologi akan menjalakan tugas berkelanjutan karena sudah ada means (instrumen penelitian). Jalan fikiran Ellul tahun 1970-an tersebut terbukti valid dengan ketidakachan ilmuwan pada moralitas cloning ketika diterapkan pada tanaman dan hewan, ilmuwan melajutkannya untuk manusia.
Penulis dapat menerima sinyalemen Ellul bahwa pada era pasca industri tekhnologi tidak lebih dari means. Tujuannya ada pada dataranlain seperti polotik, ekonomi, atau lainnya. Yang penulis tidak sependapat dengan Ellul adalah: bahwa moralitas itu melekat pada ends saja. Penulus pendapat bahwa moralitas itu melekat pada ends dan juga melekan pada means.
 
   












BAB III
PENUTUP
Filsafat analitik adalah suatu gerakan filosof Abad ke 20, khususnya di Inggris dan Amerika Serikat yang memusatkan perhatiannya pada bahasa dan mencoba menganalisa pernyataan-pernyataan (konsep-konsep, ungkapan-ungkapan kebahasaan atau bentuk-bentuk yang logis) supaya menemukan bentuk-bentuk yang paling logis dan singkat yang cocok dengan fakta-fakta atau makna-makna yang disajikan.
Perhatian filsafat terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman Pra Sokrates, akan tetapi filsafat bahasa tersebut menjadi populer pada abad ke XX dengan telaah analitik filosofik Wittgenstein tentang bahasa.
Ludwig Wittgeinsten dengan dua pemikiran dalam karyanya yaitu, pada periode pertama, Tractatus logico-philosophicus. dan pada periode kedua, Philosophical Investigation
















DAFTAR PUSTAKA

Mustansyir, Rizal, Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan para tokohnya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001.
Muzairi, Filsafat Umum, Jakarta: Teras 2009.



[1] Jean Paul Sartre lahir di Paris, Perancis.  Ayahnya seorang penganut agama Katolik, ibunya penganut agama Protestan dan kakeknya seorang Profesor dalam bahasa-bahasa modern di Universitas Sorbone
[2] Muzairi, Eksistensialisme Jean Paul Sartre: Sumur Tanpa Dasar kebebasan Manusia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm.144

Tidak ada komentar:

Posting Komentar