FILSAFAT POSTMODERN
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : FILSAFAT
Dosen Pengampu : Atika Ulfia Adlina,
M.S.I
Kelas : ES/IIG

Disusun Oleh :
Kelompok 5
1.
M. Rahayu Effendi
(1420210236)
2.
Septiana Rini
(1420210239)
3.
Amaliani Fahrida
(1420210242)
4.
M. Muthohar (1420210243)
5.
Rofiul Murtadlo
(1420210252)
6.
Nor Chamidah (1420210256)
7.
Andika M. Priyadi (1420210262)
8.
Nur Hayati (1420210270)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
TAHUN AKADEMIK 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Postmodern (abad 20) pertama kali muncul di Prancis sekitar tahun
1970-an. Pada awalnya postmodern lahir terhadap kritik arsitektur, dan harus
kita akui kata postmodern itu muncul sebagai bagian modernitas. Benih posmo
pada awalnya tumbuh dilingkungan arsitektur. Charles Jencks dengan bukunya
‘’The lenguage of postmodern’’. Architecture (1975) menyebut postmodern sebagai
upaya untuk mencari pluralisme gay aarsitektur setelah ratusan tahun terkurung
satu gaya. Pada tahun 1972 bangunana yang melambangkan kemodernisasian
diledakkan dengan dinamit. Peristiwa peledakan ini menandai kematian modern dan
menandakan kelahiran postmodern.
Ketika postmodeern memasuki ranah filsafat, post dan modern tidak dimaksudkan
sebagai sebuah periode atau waktu tetapi lebih lebih merupakan sebuah konsep
yang hendak melampaui segala hal modern. Postmodern ini merupakan sebuah kritik atas relitas modernitas yang dianggap
telah gagal dalam melanjutkan proyek pencerahan. Nafas utama dari post modern
adalah penolakan atas narasi-narasi besar yang muncul pada dunia modern dengan
ketunggalan gangguan terhadap akal budi dan mulai memberi tempat bagi
narasi-narasi kecil, lokal, tersebar, dan beraneka ragam untuk bersuara dan menampakkan
dirinya. Postmodern bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif, kenyataan atau
realita adalah relatif dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan
satu sama lain.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian filsafat analitik dan perkembangannya?
2. Bagaimana pemikiran Ludwig Wittgenstein tentang filsafat analitik ?
3. Bagaimana pemikiran Jean Paul Sartre dalam Filsafat Eksistensialisme ?
4. Bagaimana bentuk postmodern ethics ?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian filsafat Analitik dan perkembangannya
Secara etimologi kata
analitik berarti investigative, logis, mendalam, sistematis, tajam dan
tersusun. Sedangkan pengertian filsafat analitik secara terminologi yaitu: Menurut
Rudolph Carnap, filsafat analitik adalah pengungkapan secara sistematik tentang
syntax logis (struktur gramatikal dan aturan-aturannya) dari
konsep-konsep dan bahasa khususnya bahasa ilmu yang semata-mata formal. Roger
jones menjelaskan arti filsafat analitik bahwa baginya tindak menganalisis
berarti tindak memecah sesuatu ke dalam bagian-bagiannya. Tepat bahwa itulah
yang dilakukan oleh para filosof analitik.
Filsafat analitik
adalah suatu gerakan filosof Abad ke 20, khususnya di Inggris dan Amerika
Serikat yang memusatkan perhatiannya pada bahasa dan mencoba menganalisa
pernyataan-pernyataan (konsep-konsep, ungkapan-ungkapan kebahasaan, atau
bentuk-bentuk yang logis) supaya menemukan bentuk-bentuk yang paling logis dan
singkat yang cocok dengan fakta-fakta atau makna-makna yang disajikan. Yang
pokok bagi filsafat analitik adalah pembentukan definisi baik yang linguistik
atau nonlinguistik nyata atau yang konstektual. Filsafat analitik
sendiri, secara umum, hendak mengklarifikasi makna dari penyataan dan konsep
dengan menggunakan analisis bahasa.
Bila dikaji perkembangan
filsafat setidaknya terdapat empat fase perkembangan pemikiran filsafat, sejak
munculnya pemikiran yang pertama sampai dewasa ini, yang menghiasi panggung
sejarah umat manusia. Pertama, kosmosentris yaitu fase
pemikiran filsafat yang meletakkan alam sebagai objek pemikiran dan wacana
filsafat, yaitu yang terjadi pada zaman yunani kuno. kedua, teosentris yaitu
fase pemikiran filsafat yang meletakkan Tuhan sebagai pusat pembahasan
filsafat, yang berkembang pada zaman abad pertengahan. Ketiga, antroposentris
yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan manusia sebagai objek wacana
filsafat, hal ini terjadi dan berkembang pada zaman modern. Keempat, logosentris
yaitu fase perkembangan pemikiran filsafat yang meletakkan bahasa sebagai
pusat perhatian pemikiran filsafat dan hal ini berkembang setelah abad modern sampai
sekarang. Fase perkembangan terakhir ini ditandai dengan aksentuasi filosof
pada bahasa yang disadarinya bahwa bahasa merupakan wahana pengungkapan
peradaban manusia yang sangat kompleks itu.
Perhatian filsafat
terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman Pra
Sokrates, yaitu ketika Herakleitos membahas tentang hakikat segala sesuatu
termasuk alam semesta. Filsafat bahasa mulai berkembang pada abad ke XX dengan
telah analitik filosofik Wittgenstein tentang bahasa.
Filsafat abad modern
memberikan dasar-dasar yang kokoh terhadap timbulnya filsafat analitika bahasa.
Peranan rasio, indra, dan intuisi manusia sangat menentukan dalam pengenalan
pengetahuan manusia. Oleh karena itu aliran rasionalisme yang menekankan
otoritas akal, aliran empirisme yang menekankan peranan pengalaman indera dalam
pengenalan pengetahuan manusia serta aliran kritisme Immanuel kant menjadi
sangat penting sekali pengaruhnya terhadap tumbuhnya filsafat analitika bahasa
terutama dalam pengungkapan realistas segala sesuatu melalui ungkapan bahasa.
B. Ludwig Wittgenstein (1889-1951)
Pemikiran Ludwig Wittgenstein tertuang dalam karyanya yaitu:
- Tractacus Logico Philosophicus (Wittgenstein I )
Tractacus Logico Philosophicus
membahas masalah masalah yang berhubungan dengan dunia, pikiran dan bahasa,
kemudian menyajikan solusi yang berdasarkan logika. Ludwig berpendapat bahwa
sebenarnya permasalahan filsafat terletak pada bahasa yang digunakan, sehingga
bahasa perlu dilogiskan.teori ini mengungkapkan tentang teori gambar dan logika
bahasa.Penggunaan bahasa dalm teori ini harus mampu mengungkapkan secara
objektive fakta tentang dunia dan hal ini harus dilakukan dengan menggunakan
bahasa berdasarkan logika. Dengan bahasa dapat dikatakan dengan jelas apa yang
ingin dikatakan. Sedangkan untuk menjelsakan apa yang tidak dapat dikatakan
menggunakan metafora dan analogi. Dalam teori ini Wittgenstein mendasarkan pada
satu bahasa ideal yang memenuhi syarat logika.
2. Philisophical Investigations (Wittgenstein II )
Teori kedua Wittgenstein ini memuat tentang teori
makna dalam penggunaan ( meaning in use ) dan permainan bahasa ( language games
). Makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam kalimat, makna sebuah kalimat
adalah penggunaannya dalam bahasa dan makna dalam bahasa adalah penggunaannya
dalam berbagai konteks kehidupan manusia. Mengenai languge games, Wittgenstein
mengatakan bahwa kita harus melihat, membaca dan memahami suatu bahasa dalam
konteksnya masing-masing. Artinya ada aturan atau norma dalam menggunakan
bahasa diberbagai bidang kehidupan.
Filsafat Wittgenstein relevan bagi pengembangan filsafat bahasa dalam aspek
ontologis, epistimilogis, dan aksiologis.
- Secara Ontologis
Permainan bahasa menunjukkan hakekat kehidupan manusia dalam hubungannya
dengan dirinya sendiri, orang lain, masyarakat, alam serta terhadap Tuhan.
2. Secara
Epistimologis
Setiap penggunaan bahasa dalam kehidupan manusia memiliki aturannya
masing-masing yang sangat beragam serta tidak terbatas.
3. Secara
Aksiologis
Penggunaan bahasa adalah sebagai sarana dalam berkomunikasi mengungkapkan
suatu makna.
C. Filsafat Eksistensialisme (
Jean Paul Sartre, 1905 – 1980 )
Selain
S.kierkegaaard, di masa filsafat
postmodern terdapat filsuf besar yang menjadikan permasalahan kebebasan manusia
dan ontologi yang cukup radikal .[1] sebagai filsuf besar, Jean tidak sekaligus membangun filsafatnya
melainkan melalui beberapa tahap- tahap yang dapat di sebutkan sebagai berikut:
1.1 Tahapan awal perjalanan
Jean Paul Sartre di dunia Filsafat
Tahapan
|
Corak Pemikiran
|
Ket.
|
I
|
Kesadaran individu
|
Tahap ini meliputi kandungan phenomenologi yang di
kaitkan dengan psikologi
|
II
|
Ontologi
|
Karyanya yang berjudul Being and nothingness memuat
akan posisi kesadaran manusia dengan pandangan ontologi yang bercirikan
radikal-dualisme
|
III
|
Marxisme
|
Jean mengakui bahwa : “Marxisme adalah filsafat yang
mengerti zaman ini, tetapi Marxisme harus belajar kepada Eksistensialisme,
bahwa individu konkret itu lain dengan kolektivitas”. Serta memandang
individu sebagai kebebasan.
|
Corak pemikiran Sartre dalam Filsafat ialah
ontologi dan kebebasan manusia. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
a.
Permasalahan Ontologi
Dasar ontologi Sartre sulit dipahami tanpa
mengkaitkan dengan Heidegger sebagai gurunya. Dimana pokok analisa Heidegger
adalah “Desain” semata-mata untuk dapat menjawab pertanyaan tentang makna “Ada”
yang sebenarnya. Dan Sartre menganalisa makna “Ada” dalam arti kesadaran
manusia.
Sartre memberikan pengertian ontologi sebagai:
“The study of the structure of being of the existance taken as a totality”
(studi tentang struktur yang ada dari yang mengada di ambil sebagai totalitas).
Dengan demikian, ontologi yang dipahami Sartre menggambarkan struktur tentang
Ada, bagaimana kesadaran kehadiran manusia di dunia yang bukan subtansi atau
proses, serta di hubungkan dengan kebutuhannya, situasinya di dunia.
Dari pemikiran tentang Ada, justru Sartre dalam
dasar ontologinya untuk mengingkari Tuhan dengan menghubungkan kebebasan dari
“Ada” yang berkesadaran dan wishful thingking-nya unntuk menjadi Tuhan.
Dia berkata bahwa Tuhan bukan jadi jaminan kebenaran; justru manusia itu bebas,
seluruh kebenaran dan nilai, bersumber dari kebebasan manusia, yang
dimutlakkan; “life has no a priori meaning”. Konsekuensinya Tuhan bukan
jaminan, sebagai yang a priori. Sedangkan jika tuhan itu ada, msks
secara kemutlakkan ontologis haruslah merupakan “en-soi (Being in-self)
maupun “pour-soi (Being for it-self), yang di maksud dengan dan inilah yang di cita-citakan manusia
Sartre yakni menginginkan paada diri sendiri terpadu dengan keduanya.
Sartre sebagai sseorang ontologis juga dikatakan seorang yang menganut dualisme,
akan tetapi berbeda dengan dualisme Descartes maupun Kant. Dualisme Descartes
terdiri dari jiwa dan badan yang keduanya berbeda. Badan adalah bagian dari
kodrat yang mekanis, sedangkan jiwa (mind) adalah a pure thinking
subtance. Begitu pula dualisme yang kemukakan oleh Kant yaitu phenomena dan
noumena dimana phenomena yang dapat di ketahui manusia dan noumena yang
bersifat metafisik. Tetapi berbeda
dengan pandangan Sartre, ialah berpendapat bahwa phenomena dapat mengatasi
noumena dengan kebebasan, dia juga memberi pilihan dengan perkataan “hanya
tinggal pilih, manusia yang bebas atau
mengakui Tuhan sebagai sumber nilai”.
b.
Kebebasan Manusia
Menurut Sartre, bahwa manusia dalam sadar diri,
dia menjadi berjarak antara diri sebagai yang disadari dengan
kesadarannya. Dan dari kesadaran inilah
Sastre menerangkan kebebasan manusia sebagai suatu pengertian ontologi, hal ini
berkaitan erat dengan pandangannya tentang manusia sebagai totalitas, sehingga
manusia adalah kebebasan yang otonom dan mutlak.
Ada perbedaan yang sangat besar antara Sartre
dengan Kierkegaard. Bagi Sartre dalam hal keterasingan manusia merupakan suatu
kondisi akibat dari kebebasan mutlak manusia yang gagal, sedangakan Kierkegaard
menganggap bahwa keterasingan manusia diakibatkan karena dia berdosa, yang berakibat
keterasingan dengan Tuhan, dengan alam dan masyarakat yang mempunyai
konsekuensi yang besar sekali dalam bidang etis[2].
Kebebasan manusia dalam pandangan Sartre yang
mutlak juga berarah pada penolakan Tuhan sebagai pencipta dengan alasan yang
sederhana yaitu “...if God gas given us an essence, this to etermine all our
future actions by one original gesture” (jika Tuhan telah memberi kita
esensi, hal ini untuk menentukan semua aksi masa depan kita dengan satu gerakan
tangan original). Dan itu berarti dimensi-dimensi futuralnya tidak ada.
D. PostModern Ethics
1. Tanpa Ethical Code
Zygmunt Bauman mengemukakan bahwa pada era posmo mengunakan moralitas tanpa
ethical code, tanpa sadar. Posmo berpandangan bahwa kebenaran itu selalu
didekonstruk, dan future events tak dapat diprediksikan, sehingga
kalaupun dikonstruk ethical code atau standar harus selalu didekonstruk
dalam menghadapi perkembangan baru. Sekali lagi perlu penulis kemukakan bahwa
kebenaran relatif posmo tidak berangkat dari nihilisme, melainkan berangkat
dari evidensi bahwa sosok kebenaran masa depan tidak dapat diprediksi.
Meskipun tanpa ethical code atau standar, Alan Wolfe mengetengahkan bahwa
kasapalitas moral makhluk manusia menjadi penjamin pelestarian mahluk mannusia.
Sejalan dengan teori moral imperatif dari kant.
2. Multiple Membership dengan Ethical Code Asimetris
Keangotaan kelompok pada era modern an posmo adalah multhiple
membership. Multhiphe menbership dalam merdernisme mengunakan ethical code
yang sama. Adapun multhiple membership dalam posmo membuat hubungan I-Thou
menjadi asismeris. Dalam bahasa Emmanuel Levinas, kebersamaan kita mungkin
sebatas zusammenmarsschieren ( berada dalam bersama dipasar, misalny),
atau zusammenmarsschiersein (bersama dalam kegiatan) belum sajauh Mitsein
atau minteinandersein atau togetherness (bersama dalam ikatan
keluarga, dalm ikatan lembaga kerja, misalnya). Kapsitas moral makhlum
manusialah yang membuat manusia mampu membuat kesepakatan moral. Aplikasi
hukumnya mungkin dapat digunakan model pengembanganhukum di Amerika Serikat.
Ketika tiada yang menyimpang yang merugikan orang banyak, tidak dibuat
undang-undang. Ketika mulai banyak penyimpangan yang merugika orang banyak
dibuang undang-undang.
Pluralisme merupakan pengakuan pada keragaman sistem struktur masyarakat.
Struktur kacil-kecil dalam praktik etnik di Bosnia, Kosovo,dan otonomi daerah
di Indonesia yang lebih diwarbai konflik antar entik, dan lebih jauh lagi
berkembang menjadi enthic cleansing akan membuat set back mejadi trdiational
tribes abad XVIII atau melahan sebelumnya. Michel Maffesoli memperkenalkan
konsep new triben. new triben ini tidak lagi mempunyai ikatan kuat pada
struktur, baik dalam makna biologik atau institusional. Dapat dijelaskan
perbedaan perbedaan antara traditional tribes, yang polisemik, multi-fungsi,
dan multhi-final, dengan new tribes, yang mengkhusus pada issue tertentu, pada
tipe aksi tertentu, dan simbol tertentu. Dalam bahasa penulis, keterkaitan
seseorang pada suatu struktur sosial berdasar preferensi pilihannya sendiri.
Karena setiap orang memiliki multiple membership, maka keangotaan
seseorang dalam new tribes akan menggunakan enthic atau moral yang
asismetris dengan anggota lain.
3. Tekhnologi hanya Means
Berfikir modern menduduki teknologi sebagai means untuk mencapai
entds, dan selajutnya ends menjadi mean; proses demikian berlangsung
berkelanjutan.
Tekhnologi bukan lagi dilihat sebagi proses untuk mencapai sesuatu.
Tekhnologi bukan lagi pencapai sebagi proses untuk mencapai sesuatu. Tekhnologi
berkembang karena didorong oleh adanya instrumen yang memungkinkan ilmuwan
menjanlakan tugas meneliti. Setelah terbukti kita dapat terbang ke bulan, yang
difikirkan oleh ilmuwan “apa yang dapat dikerjakan di sana?”, demikian Jacques
Ellul. Lebih jauh Ellul mengemukakan bahwa tekhnologi itu tidak means dan ensemble of mean. Ellul menentang
pendapat tentang adanya tujuan dalam menciptak tekhnologi. Sebagai means ilmuawan
tekhnologi akan menjalakan tugas berkelanjutan karena sudah ada means
(instrumen penelitian). Jalan fikiran Ellul tahun 1970-an tersebut terbukti
valid dengan ketidakachan ilmuwan pada moralitas cloning ketika
diterapkan pada tanaman dan hewan, ilmuwan melajutkannya untuk manusia.
Penulis dapat menerima sinyalemen Ellul bahwa pada era pasca industri tekhnologi
tidak lebih dari means. Tujuannya ada pada dataranlain seperti polotik,
ekonomi, atau lainnya. Yang penulis tidak sependapat dengan Ellul adalah: bahwa
moralitas itu melekat pada ends saja. Penulus pendapat bahwa moralitas itu
melekat pada ends dan juga melekan pada means.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Filsafat analitik adalah suatu
gerakan filosof Abad ke 20, khususnya di Inggris dan Amerika Serikat yang
memusatkan perhatiannya pada bahasa dan mencoba menganalisa
pernyataan-pernyataan (konsep-konsep, ungkapan-ungkapan kebahasaan atau
bentuk-bentuk yang logis) supaya menemukan bentuk-bentuk yang paling logis dan
singkat yang cocok dengan fakta-fakta atau makna-makna yang disajikan.
Perhatian filsafat
terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman Pra
Sokrates, akan tetapi filsafat bahasa tersebut menjadi populer pada abad ke XX
dengan telaah analitik filosofik Wittgenstein tentang bahasa.
Ludwig Wittgeinsten
dengan dua pemikiran dalam karyanya yaitu, pada periode pertama, Tractatus logico-philosophicus. dan
pada periode kedua, Philosophical
Investigation
DAFTAR PUSTAKA
Mustansyir, Rizal, Filsafat Analitik:
Sejarah, Perkembangan, dan Peranan para tokohnya, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2001.
Muzairi,
Filsafat Umum, Jakarta: Teras 2009.
[1] Jean Paul Sartre lahir di Paris,
Perancis. Ayahnya seorang penganut agama
Katolik, ibunya penganut agama Protestan dan kakeknya seorang Profesor dalam
bahasa-bahasa modern di Universitas Sorbone
[2] Muzairi, Eksistensialisme Jean Paul Sartre: Sumur
Tanpa Dasar kebebasan Manusia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm.144
Tidak ada komentar:
Posting Komentar