Selasa, 29 November 2016

HAKIM, HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH’I MAKALAH



HAKIM, HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH’I
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Ushul Fiqih
Dosen Pengampu: M. Arif Hakim, M.Ag.
           



 










Kelompok 7

Disusun Oleh :

Septiana Rini                       1420210239

Hanim Mu’linatus S.           1420210258

Samsul Irfan                        1420210267

Siti Alfiyani                          1420210271











 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM

PRODI EKONOMI SYARIAH

TAHUN AKADEMIK 2015 / 2016





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hukum merupakan salah satu objek pembahasan ushul fiqih yang sangat penting, bahkan tujuan dari ushul fiqih itu sendiri adalah menyupulkan hukum dalam dalam Al Qur’an  dan Hadist dengan berbagai metode yang bisa digunakan. Hukum syara’ mempunyai beberapa unsur lain yang berkaitan dengannya, seperti, hakim sebagai pembuat hukum, al-mahkum fih sebagai perbuatan yang dibebankan dan juga mahkum ‘alaihi sebagai pelaksana hukum. Namun dalam makalah ini kami hanya membahas tentang hukum syara’ saja yang meliputi hukum taklifi dan wadhi’.
Dalam pembahasan hukum taklifi pertama sekali kami menjelaskan hukum taklifi menurut ushuli kemudian baru menjelaskan hukum taklifi sebagai efek dari nash, misalnya, kami menjelasakan ijab dulu dan setelah itu baru menjelaskan wajib yang menjadi salah satu bagian dari ijab.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian dari hukum  dan pembagianya?
2.      Apa hukum taklify ?
3.      Apa hukum wadi’?
4.      Apa perbedaan dari hukum taklifi dan hukum wadi’?
5.      Apa pengertian hakim?









BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hukum
Dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqih, hukum ialah bekasan dari titah Allah atau sabda Rosul. Apabila hukum syara’, maka yanh dimaksud ialah hukum yang berpautan dengan perbuatan manusia, yakni yang dibicarakan dalam ilmu fiqih, bukan hukum yang berpautan dengan aqidah dan ahlaq.
Ulama ushul fiqih memberi nama istilah terhadap hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dari segi tuntunan dan pilihan sebagai hukum taklifi, dan menyebut hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dari segi penetapan sebagai hukum wadh’i. Oleh karena itu mereka menetapkan bahwasanya hukum syara’ terbagi menjadi dua yaitu: hukum taklifi dan hukum wadh’i.
B.     Hukum taklify
a.    Pengertian Hukum Takhlifi
خطا ب ا لله ا لمتعلق باء فعا ل ا لمكلفين علا جهة ا لا قتظا ء ا ؤ ا لتخيير
Artinya :
 “ hukum takhlifi ialah khitab/firman Allah yang berhubungan dengan segala para mukallaf baik atas iqtidha atau atas dasar takhyir.”
Dengan demikian hukum takhlifi ialah dituntut melakukan atau tidak melakukan atau dipersilahkan untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan. Khitab Allah yang mengandung tuntutan.
b.   Pembagian Macam-macam Hukum Takhlifi
Hukum takhlifi yang dikemukakan di atas dapat dibagi menjadi lima macam ialah ijab (wajib), nadab (sunat), tahrim (haram), karahah (makruh), dan ibahah (mubah).
Kelima macam yang dikemukakan di atas, dapat pula dibagi menjadi dua macam : pertama, yang berhubungan dengan tuntutan untuk tidak  melaksanakan, seperti wajib  dan mandub. Kedua, tuntutan untuk tidak melaksanakan suatu perbuatan, seperti tahrim dan  karahah, sedangkan mubah ialah yang boleh dilakukan atau tidak dilakukan sehingga mukalaf diberi kebebasan untuk memilih.



1)      Ijab (Wajib)
Wajib yaitu tuntutan secara pasti  ari syari’ untuk dilaksanakan dan tidak boleh (dilarang) ditinggalkan, karena orang yang meninggalkan dikenai hukum.Wajib ini ada beberapa macam.
a)      Wajib dipandang dari segi waktu mengerjakannya dan waktu yang tersedia untuk mengerjakan yang diwajibkan. Wajib seperti ini dibagi menjadi dua macam : wajib muwasa’ dan wajib mudhayyiq.
b)      Wajib yang dikaitkan dengan orang yang mengerjakannya dapat dibagi menjadi  wajib ain dan wajib kifayah.
c)      Wajib  dilihat dari segi waktu melaksanaknnya dapat dibagi menjadi wajib alal faur  dan wajib alat tarakhi yang dimaksud dengan wajib alal faur ialah apabila telah tercapai semua syarat, wajib segera dilaksanakan tanpa menunda umpamanya kalau telah nyata terdapat kemungkaran yang bila dibiarkan akan lebih meluas maka kuwajiban nahi munkar telah tercapai dan pelaksanaan nahi munkar tidak boleh ditunda karena akan meluas lagi, dan wjib yang seperti ini dinamakan wajib alal faur.
2)      Nadb ( sunat)
Nadb adalah tinta yang mengadung suruhan yang tidak musti dikerjakan, hanya merupakan anjuran melaksanakannya. Ketidak mustian itu dikerjakan, yang firmanya:
خطا ب ا لله تعا ل ا لطا لب للفعل طلبا غير جا ز مز
Artinya :
“firman Allah SWT . yang menuntut suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti.”
     Para ulama dalam kalangan madzhab Hanafi menyamankan sunat dan nafal dengan mandub . mandub menurut mereka ada tiga macam:
1.      Sunah Hadi ialah suatu perbuatan yang diperintahkan  untuk menyempurnakan perbuatan wajib, seperti adzan dan shalat berjama’ah.
2.      Sunah zaidah ialah semua perbuatan yang dianjurkan melakukannya sebagai sifat terpuji bagi mukallaf karena mengikuti jejak Nabi, seperti dalam makn,minum, tidur dan sebagainya.
3.      Nafal ialah perbuatan yang dianjurkan melakukannya sebagai pelengkap dari perbuatan wajib dan sunat, seperti shalat sunah .
Para ulama dalam kalangan madzhab syafi’i membagi mandub menjadi dua macam ialah :
1.      Sunnah muakad ialah perbuatan yang dituntut melakukannya namun tidak dikenakan siksa bagi yang meninggalkannya tapi cela.
2.      Sunnah ghairu muakad  segala perbuatan yang tuntut perbuatannya namun tidak di cela meninggalkannya tetapi Rosulullah meninggalkannya.
3)      Tahrim (haram)
Tahrim yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
Para ulama dalam kalangan madzab Hanafi membagi haram ini menjadi dua macam yang dilihat dari segi kekuatan Dlil yang ditetapkan.
1.      Haram yang ditetapkan melalui dalil qath’I ialah Al-Qur’an, sunnah mutawatir  dan ijma’. Haram yang ditetapkan melalui dalil qath’i ini sebagi kebalikan Fardhu.
2.      Haram yang ditetapkan melalui dalil zhanni seperti  hadits ahad  dan qiyas. Haram seperti ini sebagai ini sebagai kebalikan wajib atau juga dinamakan karahiyatut tahrim.
4)      Karahah (Makruh)
Karahah adalah titah yang mengadung larangan namun tidak musti dijauhi.  Yang terdapat firmanya:
خطا ب الله تعا لا ا لطا لب للكف عن ا لفعلا طلبا غير جا ز م
Artinya :
“firman Allah SWT. Yang menuntut meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti.”
Makhruh ini dapat diketahui melalui lafal atau dibawakan dengan lafal  nahi, namun ada petunjuk yang menuntukan perbuatan makhruh.
5)      Ibahah
Ibahah yaitu khitab Allah yang mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat. Akibat dari khitab Allah ini disebut juga dengan  ibahah,  dan perbuatan yang boleh dipilih itu di sebut mubah.
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas mubah ini ada tiga macam:
1)      yang diterangkan syara’ tentang kebolehannya memilih antara melakukan atau tidak melakukan.
2)       yang tidak diterangkan kebolehannya namun syara’ memberitahukan akan dapat memberi kelonggaran dan kemudahan bagi yang melakukannya.
3)      yang tidak diterangkan sama sekali, baik kebolehan melakukannya atau meninggalkannya, yang seperti ini kembali pada hakikat bara’atul ashliyah.
C.    Hukum wadi’
Hukum Wad’I adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang mengandung persyaratan, sebab atau mani’.Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa hukum wad’I itu ada lima macam , yaitu sebab, syarat, mani’, sihah atau batil, azimah dan rukhsah.
1)      Sebab
Sebab yaitu sifat yang nyata dan dapat diukur yang dijelaskan oleh nash (Al-Qur’an dan Sunnah) bahwa keberadaannya menjadi petunjuk bagi hukum syara’. Artinya, keberaan sebab merupakan pertanda keberadaan suatu hukum dan hilangnya sebab menyebabkan hilangnya hukuman.
2)      Syarat
Syarat  ialah sesuatu yang menyebabkan adanya hukum dengan adanya syarat dan bila ada syarat  maka hukum pun tidak ada. Syarat  letaknya diluar hakikat sesuatau  maka apabila ia tidak ada maka masyrut pun tidak ada, tetapi tidak pasti dengan adanya syarat berarti ada juga masyrut.
3)      Penghalang / Mani’
Mani’  yaitu sifat yang nyata keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Keterkaitan antara sebab, syarat, dan mani’ sangat erat penghalang itu ada bersamaan dengan adanya sebab dan terpenuhinya syarat-syarat.
Para ulama kalangan madzhab Hanafi membagi mani’ menjadi lima macam:
1.      Mani’  yang menghalangi sahnya sebab hukum seperti menjual orang yang merdeka.
2.      Mani’  yang menjadi penghalang kesempurnaan sebab lahirnya hukum bagi orang yang ikut serta melakukan perjanjian dan menjadi penghalang sebab bagi orang yang mengikat perjanjian.
3.      Mani’ yang menjadi penghalang berlaku hukum seperti khiyar syarat dari pihak penjual yangmenghalangi pembeli mempergunakan haknya terhadap barang yang dibelinya selama masa khiyar syarat  berlaku.
4.      Mani’  yang hanya menghalangi sempurna hukum seperti  khiyar rukyah.
5.      Mani’  yang menghalangi berlakunya hukum.
4)      Sah dan Batal
Lafal sah dapat diartikan lepas tanggung jawab atau gugur kewajiban di dunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat.
5)      Azimah dan Rukhsah
Azimah  adalah hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada seluruh hamba-Nya sejak semula
D.    Perbedaan Hukum Takhlifi dan Hukum Wadh’i
Ada beberapa perbedaan antara hukum al-takhlifi  dengan  hukum wadh’I  yang dapat disimpulkan dari pembagian hukum di atas perbedaan dimaksud, antara lain adalah:
a.       Dalam hukum al-takhlifi terkandung tuntutan untuk melaksanakan meninggalkan, atau memilih berbuat atau tidak berbuat. Dalam  hukum al-wadh’I  hal ini tidak  ada, melainkan mengandung keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu di antara keduannya bisa dijadikan sebab, penghalang , atau syarat.
b.      Hukum al-takhlifi merupakan tuntutan langsung pada mukallaf untuk dilaksanakan , ditinggalkan atau melakukan pilihan untuk bertbuat atau tidak berbuat . sedangkan  hukum al-wadh’I  tidak dimaksudkan agar langsung di lakukan mukallaf. Hukum al-wadh’i  ditentukan syari’ agar dilaksanakan hukum takhlifi.
c.       Hukum al-takhlifi  harus sesuai dengan kemampuan mukallaf untuk melaksanakan atau meninggalaknnya, karena dalam hukum al-takhlifi  tidak boleh ada kesulitan (masyaqqah) dan kesempitan (haraj) yang tidak mungkin dipikul oleh mukallaf. Sedangkan hukum al-wadh’i  hal seperti ini tidak dipersoalkan, karena masyaqqah dan haraj dalam hukum al-wadh’i adakalanya dapat dipikul mukallaf (seperti menghindarkan saksi sebagai syarat dalam pernikahan) dan adakalanya diluar kemampuan mukallaf (seperti tergelincirnya matahari bagi wajibnya shalat dzuhur).
Hukum al takhlifi  ditunjukan kepada para mukallaf, yaitu oaring yang telah baligh dan berakal . sedangkan  hukum al-wadh’i ditunjukan kepada manusia mana saja, baik telah mukallaf, maupun belum, misalnya anak kecil dan orang gila.

E.     Hakim
Hakim adalah dzat yang mengeluarkan hukum. Sedangkan hukum adalah sesuatu yang keluar dari hakim yang menunjukkan atas kehendaknya pada perbuatan mukallaf. Di kalangan ulama ummat islam tidak ada perselisihan pendapat mengenai sumber hukum syar’iyyah bagi seluruh perbuatan orang-orang mukallaf adalah Allah SWT, baik hukumnya mengenai perbuatan mukallaf itu telah Allah wahyukan kepada Rasul-Nya ataupun Allah memberi pertunjuk kepada para mujtahid untuk mengetahui hukumnyadengan perantara dalil-dalil dan tanda-tanda yang telah disyari’atkan untuk mengistimbathkan hukum-hukumnya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:

ان الحكم الاّ للهﺙۗ يقصّ الحقّ وهوخيرالفاصلين۞
 Artinya: “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah, Dia menerangkan sebenarnya dan dia pemberi keputusan yang baik”. (QS. Al-An’am: 57)
1.      Cara Mengetahui Hukum
Terdapat perbedaan di antara ulama, mengenai hukum-hukum Allah yang bisa diketahui oleh akal manusia tanpa melalui Rasul dan kitab-kitabNya atau hukum-hukum Allah tidak bisa diketahui kecuali melalui Rasul dan kitab-kitabNya. Dalam perbedaan pendapat ini terdapat tiga madzhab di kalangan para ulama yaitu:
a.       Madzhab Asy’ariyah, dengan tokohnya Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, ia berpendapat bahwa hukum-hukum Allah tidak bisa diketahui dengan semata-mata menggunakan akal, tetapi hukum-hukum Allah baru diketahui melalui Rasul dan kitab-kitabNya. Karena akal manusia berbeda-beda di dalam kemampuannya dan sering berubah-ubah tentang penilaiannya terhadap baik dan buruk serta tidak jarang akal manusia dipengaruhi hawa nafsunya.
Segala perbuatan manusia atau kelompok manusia yang belum sampai kepadanya dakwah tidaklah mendapat pahala dan tidaklah berdosa. Pendapat ini dikuatkan oleh firman Allah:
وماكنّامعذّبينحتى نبعث رسولاً
Artinya: “ Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul”. (QS. Al-Isra’: 15)
b.      Madzhab Mu’tazilah, yaitu para pengikut Washil bin ‘Atha’. Pendapat madzhab ini ialah bahwasanya akal dapat mengetahui hukum Allah tentang perbuatan-perbuatan mukallaf dengan sendirinya tanpa perantara Rasul dan kitab-kitabNya. Karena perbuatan mukallaf itu mempunyai sifat dan pengaruh yang bisa menjadikannya sebagai sesuatu yang berbahaya atau sesuatu yang bermanfaat. Oleh karena itu, berdasarkan sifat-sifat perbuatan, dan manfaat atau bahaya yang diakibatkannya, maka akal dapat menetapkan bahwa ia baik atau buruk.
Dasar madzhab ini adalah bahwasanya perbuatan yang baik adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal, karena ia mengandung manfaat. Sedangkan sesuatu yang buruk akan menimbulkan bahaya. Sesungguhnya hukum Allah mengenai perbuatan-perbuatan mukallaf adalah sesuai dengan kebaikan dan keburukan sesuatu yang terjangkau oleh akal mereka. Menurut madzhab ini, barang siapa yang dakwah para Rasul maupun syari’at-syari’at Rasul tidak sampai kepada mereka, maka mereka dibebani Allah untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh akal mereka bahwa hal itu baik dan mereka diberi pahala oleh Allah karena mengerjakannya, serta dibebani oleh Allah untuk meninggalkan sesuatu yang menurut akal mereka buruk, dan mereka akan diberikan siksaan oleh Allah karena mengerjakannya.
c.       Madzhab Maturidiyyah, yaitu pengikut Abu Manshur Al-Maturidi. Madzhab ini berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan mukallaf mengandung berbagai kekhususan dan mempunyai pengaruh-pengaruh yang menghendaki kebaikan atau keburukan, jadi akal mampu menghukumi suatu perbuatan. Akan tetapi hukum-hukum Allah tidak harus sejalan dengan apa yang dianggap baik oleh akal. Berdasarkan hal ini tidak ada jalan untuk menentukan hukum Allah kecuali dengan perantara RasulNya.
Mereka berpendapat bahwa jika syari’at rasul belum sampai kepada mereka maka perbedaan pendapat itu tidak berpengaruh. Sedangkan jika syari’at rasul telah sampai kepada mereka, maka ukuran baik dan buruk adalah apa yang telah ditentukan oleh syari’at bukan sesuatu yang tertangkap oleh akal.








BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Hukum ialah bekasan dari titah Allah atau sabda Rosul. Apabila hukum syara’, maka yanh dimaksud ialah hukum yang berpautan dengan perbuatan manusia. bahwasanya hukum syara’ terbagi menjadi dua yaitu: hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Hukum takhlifi ialah dituntut melakukan atau tidak melakukan atau dipersilahkan untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan. Khitab Allah yang mengandung tuntutan.
Hukum Wad’I adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang mengandung persyaratan, sebab atau mani’, dengan 5 macam yakni sebab, syarat, mani’, sihah atau batil, azimah dan rukhsah.
Dalam hukum al-takhlifi terkandung tuntutan untuk melaksanakan meninggalkan, atau memilih berbuat atau tidak berbuat. Dalam  hukum al-wadh’I  hal ini tidak  ada, melainkan mengandung keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu di antara keduannya bisa dijadikan sebab, penghalang , atau syarat.
Al-Hakim itu ialah Allah SWT, sedangkan yang memberitahukan hukum-hukum Allah ialah para RosulNya. Beliau-beliaulah inilah yang menyampaikan hukum-hukum Tuhan kepada ummat manusia. Yang diperselisishkan ialah tentang siapakah yang menjadi hakim terhadap perbuatan mukhallaf sebelum rosul dibangkitkan.









DAFTAR PUSTAKA

Khallaf Abdul Wahab, ilmu usul fiqih, semarang:DINA UTAMA, 1994
Umam khoirul, dkk. Ushul fiqih 1,Bandung,CV Pustaka Setia.2000
Umam airul,dkk. Ushul fiqih 1,IAIN Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar