HAKIM,
HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH’I
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah Ushul Fiqih
Dosen
Pengampu: M. Arif Hakim, M.Ag.
Kelompok 7
Disusun Oleh :
Septiana Rini 1420210239
Hanim Mu’linatus S. 1420210258
Samsul
Irfan 1420210267
Siti Alfiyani 1420210271
![]() |
|||
![]() |
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
PRODI
EKONOMI SYARIAH
TAHUN
AKADEMIK 2015 / 2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum merupakan
salah satu objek pembahasan ushul fiqih yang sangat penting, bahkan tujuan dari
ushul fiqih itu sendiri adalah menyupulkan hukum dalam dalam Al Qur’an dan Hadist dengan berbagai metode yang bisa
digunakan. Hukum syara’ mempunyai beberapa unsur lain yang
berkaitan dengannya, seperti, hakim sebagai pembuat hukum, al-mahkum fih
sebagai perbuatan yang dibebankan dan juga mahkum ‘alaihi sebagai pelaksana
hukum. Namun dalam makalah ini kami hanya membahas tentang hukum syara’ saja
yang meliputi hukum taklifi dan wadhi’.
Dalam pembahasan hukum taklifi pertama sekali kami
menjelaskan hukum taklifi menurut ushuli kemudian baru menjelaskan hukum
taklifi sebagai efek dari nash, misalnya, kami menjelasakan ijab dulu dan
setelah itu baru menjelaskan wajib yang menjadi salah satu bagian dari ijab.
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah
pengertian dari hukum dan pembagianya?
2. Apa
hukum taklify ?
3. Apa
hukum wadi’?
4. Apa
perbedaan dari hukum taklifi dan hukum wadi’?
5. Apa
pengertian hakim?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hukum
Dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqih, hukum
ialah bekasan dari titah Allah atau sabda Rosul. Apabila
hukum syara’, maka yanh dimaksud ialah hukum yang berpautan dengan perbuatan
manusia, yakni yang dibicarakan dalam ilmu fiqih, bukan hukum yang berpautan
dengan aqidah dan ahlaq.
Ulama ushul fiqih memberi nama istilah terhadap hukum
yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dari segi tuntunan dan pilihan sebagai
hukum taklifi, dan menyebut hukum
yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dari segi penetapan sebagai hukum wadh’i. Oleh karena itu mereka
menetapkan bahwasanya hukum syara’ terbagi menjadi dua yaitu: hukum taklifi dan
hukum wadh’i.
B.
Hukum
taklify
a. Pengertian
Hukum Takhlifi
خطا
ب ا لله ا لمتعلق باء فعا ل ا لمكلفين علا جهة ا لا قتظا ء ا ؤ ا لتخيير
Artinya
:
“ hukum takhlifi ialah khitab/firman Allah
yang berhubungan dengan segala para mukallaf baik atas iqtidha atau atas dasar
takhyir.”
Dengan
demikian hukum takhlifi ialah dituntut melakukan atau tidak melakukan atau
dipersilahkan untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan. Khitab Allah
yang mengandung tuntutan.
b. Pembagian
Macam-macam Hukum Takhlifi
Hukum takhlifi yang dikemukakan di atas dapat dibagi
menjadi lima macam ialah ijab (wajib), nadab (sunat), tahrim (haram), karahah
(makruh), dan ibahah (mubah).
Kelima macam yang dikemukakan di atas, dapat pula
dibagi menjadi dua macam : pertama, yang berhubungan dengan tuntutan
untuk tidak melaksanakan, seperti
wajib dan mandub. Kedua,
tuntutan untuk tidak melaksanakan suatu perbuatan, seperti tahrim dan karahah, sedangkan mubah ialah yang boleh
dilakukan atau tidak dilakukan sehingga mukalaf diberi kebebasan untuk memilih.
1) Ijab
(Wajib)
Wajib yaitu tuntutan secara
pasti ari syari’ untuk dilaksanakan dan
tidak boleh (dilarang) ditinggalkan, karena orang yang meninggalkan dikenai
hukum.Wajib ini ada beberapa macam.
a) Wajib
dipandang dari segi waktu mengerjakannya dan waktu yang tersedia untuk
mengerjakan yang diwajibkan. Wajib seperti ini dibagi menjadi dua macam : wajib
muwasa’ dan wajib mudhayyiq.
b) Wajib
yang dikaitkan dengan orang yang mengerjakannya dapat dibagi menjadi wajib ain dan wajib kifayah.
c) Wajib dilihat dari segi waktu melaksanaknnya dapat
dibagi menjadi wajib alal faur dan wajib alat tarakhi yang dimaksud
dengan wajib alal faur ialah apabila telah tercapai semua syarat, wajib
segera dilaksanakan tanpa menunda umpamanya kalau telah nyata terdapat
kemungkaran yang bila dibiarkan akan lebih meluas maka kuwajiban nahi munkar
telah tercapai dan pelaksanaan nahi munkar tidak boleh ditunda karena akan
meluas lagi, dan wjib yang seperti ini dinamakan wajib alal faur.
2) Nadb
( sunat)
Nadb adalah tinta yang
mengadung suruhan yang tidak musti dikerjakan, hanya merupakan anjuran
melaksanakannya. Ketidak mustian itu dikerjakan, yang firmanya:
خطا
ب ا لله تعا ل ا لطا لب للفعل طلبا غير جا ز مز
Artinya :
“firman Allah SWT .
yang menuntut suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti.”
Para ulama dalam kalangan madzhab Hanafi menyamankan sunat
dan nafal dengan mandub . mandub menurut mereka ada tiga macam:
1. Sunah
Hadi ialah suatu perbuatan yang diperintahkan
untuk menyempurnakan perbuatan wajib, seperti adzan dan shalat
berjama’ah.
2. Sunah
zaidah ialah semua perbuatan yang dianjurkan melakukannya sebagai sifat terpuji
bagi mukallaf karena mengikuti jejak Nabi, seperti dalam makn,minum, tidur dan
sebagainya.
3. Nafal
ialah perbuatan yang dianjurkan melakukannya sebagai pelengkap dari perbuatan
wajib dan sunat, seperti shalat sunah .
Para
ulama dalam kalangan madzhab syafi’i membagi mandub menjadi dua macam
ialah :
1. Sunnah muakad ialah perbuatan yang
dituntut melakukannya namun tidak dikenakan siksa bagi yang meninggalkannya
tapi cela.
2. Sunnah ghairu muakad segala perbuatan yang tuntut perbuatannya
namun tidak di cela meninggalkannya tetapi Rosulullah meninggalkannya.
3) Tahrim
(haram)
Tahrim
yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang
pasti.
Para
ulama dalam kalangan madzab Hanafi membagi haram ini menjadi dua macam yang
dilihat dari segi kekuatan Dlil yang ditetapkan.
1. Haram
yang ditetapkan melalui dalil qath’I ialah Al-Qur’an, sunnah mutawatir dan ijma’. Haram yang ditetapkan melalui
dalil qath’i ini sebagi kebalikan Fardhu.
2. Haram
yang ditetapkan melalui dalil zhanni seperti hadits ahad dan qiyas. Haram seperti ini sebagai
ini sebagai kebalikan wajib atau juga dinamakan karahiyatut tahrim.
4) Karahah
(Makruh)
Karahah adalah titah
yang mengadung larangan namun tidak musti dijauhi. Yang terdapat firmanya:
خطا
ب الله تعا لا ا لطا لب للكف عن ا لفعلا طلبا غير جا ز م
Artinya :
“firman Allah SWT. Yang
menuntut meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti.”
Makhruh
ini dapat diketahui melalui lafal atau dibawakan dengan lafal nahi, namun ada petunjuk yang menuntukan
perbuatan makhruh.
5) Ibahah
Ibahah
yaitu khitab Allah yang mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat.
Akibat dari khitab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu di sebut mubah.
Berdasarkan
apa yang telah dikemukakan di atas mubah ini ada tiga macam:
1) yang
diterangkan syara’ tentang kebolehannya memilih antara melakukan atau tidak
melakukan.
2) yang tidak diterangkan kebolehannya namun
syara’ memberitahukan akan dapat memberi kelonggaran dan kemudahan bagi yang
melakukannya.
3) yang
tidak diterangkan sama sekali, baik kebolehan melakukannya atau
meninggalkannya, yang seperti ini kembali pada hakikat bara’atul ashliyah.
C.
Hukum
wadi’
Hukum Wad’I adalah hukum yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf yang mengandung persyaratan, sebab atau mani’.Para ulama
ushul fiqih menyatakan bahwa hukum wad’I itu ada lima macam , yaitu sebab,
syarat, mani’, sihah atau batil, azimah dan rukhsah.
1) Sebab
Sebab yaitu sifat yang nyata
dan dapat diukur yang dijelaskan oleh nash (Al-Qur’an dan Sunnah) bahwa
keberadaannya menjadi petunjuk bagi hukum syara’. Artinya, keberaan sebab
merupakan pertanda keberadaan suatu hukum dan hilangnya sebab
menyebabkan hilangnya hukuman.
2) Syarat
Syarat ialah sesuatu yang menyebabkan adanya hukum
dengan adanya syarat dan bila ada syarat
maka hukum pun tidak ada. Syarat letaknya diluar hakikat sesuatau maka apabila ia tidak ada maka masyrut
pun tidak ada, tetapi tidak pasti dengan adanya syarat berarti ada juga masyrut.
3) Penghalang / Mani’
Mani’ yaitu sifat yang nyata keberadaannya
menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Keterkaitan antara sebab,
syarat, dan mani’ sangat erat penghalang itu ada bersamaan dengan adanya
sebab dan terpenuhinya syarat-syarat.
Para ulama kalangan madzhab Hanafi membagi mani’
menjadi lima macam:
1. Mani’ yang menghalangi sahnya sebab hukum seperti
menjual orang yang merdeka.
2. Mani’ yang menjadi penghalang kesempurnaan sebab
lahirnya hukum bagi orang yang ikut serta melakukan perjanjian dan menjadi
penghalang sebab bagi orang yang mengikat perjanjian.
3. Mani’ yang menjadi
penghalang berlaku hukum seperti khiyar syarat dari pihak penjual
yangmenghalangi pembeli mempergunakan haknya terhadap barang yang dibelinya
selama masa khiyar syarat berlaku.
4. Mani’ yang hanya menghalangi sempurna hukum
seperti khiyar rukyah.
5. Mani’ yang menghalangi berlakunya hukum.
4) Sah dan Batal
Lafal
sah dapat diartikan lepas tanggung jawab atau gugur kewajiban di dunia
serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat.
5) Azimah dan Rukhsah
Azimah
adalah hukum-hukum yang disyariatkan Allah
kepada seluruh hamba-Nya sejak semula
D.
Perbedaan
Hukum Takhlifi dan Hukum Wadh’i
Ada beberapa perbedaan antara hukum al-takhlifi dengan hukum wadh’I yang dapat disimpulkan dari pembagian hukum di
atas perbedaan dimaksud, antara lain adalah:
a. Dalam
hukum al-takhlifi terkandung tuntutan untuk melaksanakan meninggalkan,
atau memilih berbuat atau tidak berbuat. Dalam
hukum al-wadh’I hal ini
tidak ada, melainkan mengandung
keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu di antara keduannya bisa
dijadikan sebab, penghalang , atau syarat.
b. Hukum al-takhlifi merupakan
tuntutan langsung pada mukallaf untuk dilaksanakan , ditinggalkan atau
melakukan pilihan untuk bertbuat atau tidak berbuat . sedangkan hukum al-wadh’I tidak dimaksudkan agar langsung di lakukan
mukallaf. Hukum al-wadh’i ditentukan syari’ agar dilaksanakan hukum
takhlifi.
c. Hukum al-takhlifi harus sesuai dengan kemampuan mukallaf untuk
melaksanakan atau meninggalaknnya, karena dalam hukum al-takhlifi tidak boleh ada kesulitan (masyaqqah) dan
kesempitan (haraj) yang tidak mungkin dipikul oleh mukallaf. Sedangkan hukum
al-wadh’i hal seperti ini tidak
dipersoalkan, karena masyaqqah dan haraj dalam hukum al-wadh’i adakalanya
dapat dipikul mukallaf (seperti menghindarkan saksi sebagai syarat dalam
pernikahan) dan adakalanya diluar kemampuan mukallaf (seperti tergelincirnya
matahari bagi wajibnya shalat dzuhur).
Hukum al takhlifi ditunjukan kepada para mukallaf, yaitu oaring
yang telah baligh dan berakal . sedangkan hukum al-wadh’i ditunjukan kepada manusia
mana saja, baik telah mukallaf, maupun belum, misalnya anak kecil dan orang
gila.
E.
Hakim
Hakim adalah dzat yang mengeluarkan hukum. Sedangkan
hukum adalah sesuatu yang keluar dari hakim yang menunjukkan atas kehendaknya
pada perbuatan mukallaf. Di kalangan ulama ummat islam tidak ada perselisihan pendapat
mengenai sumber hukum syar’iyyah bagi seluruh perbuatan orang-orang mukallaf
adalah Allah SWT, baik hukumnya mengenai perbuatan mukallaf itu telah Allah
wahyukan kepada Rasul-Nya ataupun Allah memberi pertunjuk kepada para mujtahid
untuk mengetahui hukumnyadengan perantara dalil-dalil dan tanda-tanda yang
telah disyari’atkan untuk mengistimbathkan hukum-hukumnya.
Hal ini sesuai
dengan firman Allah SWT:
ان الحكم الاّ للهﺙۗ يقصّ الحقّ وهوخيرالفاصلين۞
Artinya: “Menetapkan hukum itu hanyalah hak
Allah, Dia menerangkan sebenarnya dan dia pemberi keputusan yang baik”. (QS.
Al-An’am: 57)
1.
Cara Mengetahui Hukum
Terdapat perbedaan di antara ulama, mengenai hukum-hukum
Allah yang bisa diketahui oleh akal manusia tanpa melalui Rasul dan
kitab-kitabNya atau hukum-hukum Allah tidak bisa diketahui kecuali melalui
Rasul dan kitab-kitabNya. Dalam perbedaan pendapat ini terdapat tiga madzhab di
kalangan para ulama yaitu:
a.
Madzhab Asy’ariyah, dengan tokohnya Abu Al-Hasan
Al-Asy’ari, ia berpendapat bahwa hukum-hukum Allah tidak bisa diketahui dengan
semata-mata menggunakan akal, tetapi hukum-hukum Allah baru diketahui melalui
Rasul dan kitab-kitabNya. Karena akal manusia berbeda-beda di dalam
kemampuannya dan sering berubah-ubah tentang penilaiannya terhadap baik dan buruk
serta tidak jarang akal manusia dipengaruhi hawa nafsunya.
Segala perbuatan manusia atau kelompok manusia yang belum
sampai kepadanya dakwah tidaklah mendapat pahala dan tidaklah berdosa. Pendapat
ini dikuatkan oleh firman Allah:
وماكنّامعذّبينحتى نبعث رسولاً
Artinya:
“ Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang
Rasul”. (QS. Al-Isra’: 15)
b.
Madzhab Mu’tazilah, yaitu para pengikut Washil bin
‘Atha’. Pendapat madzhab ini ialah bahwasanya akal dapat mengetahui hukum Allah
tentang perbuatan-perbuatan mukallaf dengan sendirinya tanpa perantara Rasul
dan kitab-kitabNya. Karena perbuatan mukallaf itu mempunyai sifat dan pengaruh
yang bisa menjadikannya sebagai sesuatu yang berbahaya atau sesuatu yang
bermanfaat. Oleh karena itu, berdasarkan sifat-sifat perbuatan, dan manfaat
atau bahaya yang diakibatkannya, maka akal dapat menetapkan bahwa ia baik atau
buruk.
Dasar madzhab ini adalah bahwasanya perbuatan yang baik
adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal, karena ia mengandung manfaat.
Sedangkan sesuatu yang buruk akan menimbulkan bahaya. Sesungguhnya hukum Allah
mengenai perbuatan-perbuatan mukallaf adalah sesuai dengan kebaikan dan
keburukan sesuatu yang terjangkau oleh akal mereka. Menurut madzhab ini, barang
siapa yang dakwah para Rasul maupun syari’at-syari’at Rasul tidak sampai kepada
mereka, maka mereka dibebani Allah untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh
akal mereka bahwa hal itu baik dan mereka diberi pahala oleh Allah karena
mengerjakannya, serta dibebani oleh Allah untuk meninggalkan sesuatu yang
menurut akal mereka buruk, dan mereka akan diberikan siksaan oleh Allah karena
mengerjakannya.
c.
Madzhab Maturidiyyah, yaitu pengikut Abu Manshur
Al-Maturidi. Madzhab ini berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan mukallaf
mengandung berbagai kekhususan dan mempunyai pengaruh-pengaruh yang menghendaki
kebaikan atau keburukan, jadi akal mampu menghukumi suatu perbuatan. Akan
tetapi hukum-hukum Allah tidak harus sejalan dengan apa yang dianggap baik oleh
akal. Berdasarkan hal ini tidak ada jalan untuk menentukan hukum Allah kecuali
dengan perantara RasulNya.
Mereka berpendapat bahwa jika syari’at rasul belum sampai
kepada mereka maka perbedaan pendapat itu tidak berpengaruh. Sedangkan jika
syari’at rasul telah sampai kepada mereka, maka ukuran baik dan buruk adalah
apa yang telah ditentukan oleh syari’at bukan sesuatu yang tertangkap oleh
akal.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hukum ialah bekasan dari titah Allah
atau sabda Rosul. Apabila
hukum syara’, maka yanh dimaksud ialah hukum yang berpautan dengan perbuatan
manusia. bahwasanya hukum
syara’ terbagi menjadi dua yaitu: hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Hukum
takhlifi ialah dituntut melakukan atau tidak melakukan atau dipersilahkan untuk
memilih antara melakukan dan tidak melakukan. Khitab Allah yang mengandung
tuntutan.
Hukum
Wad’I adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang mengandung
persyaratan, sebab atau mani’, dengan 5 macam yakni sebab, syarat, mani’,
sihah atau batil, azimah dan rukhsah.
Dalam
hukum al-takhlifi terkandung tuntutan untuk melaksanakan meninggalkan,
atau memilih berbuat atau tidak berbuat. Dalam
hukum al-wadh’I hal ini
tidak ada, melainkan mengandung
keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu di antara keduannya bisa
dijadikan sebab, penghalang , atau syarat.
Al-Hakim itu ialah Allah SWT, sedangkan yang memberitahukan
hukum-hukum Allah ialah para RosulNya. Beliau-beliaulah inilah yang
menyampaikan hukum-hukum Tuhan kepada ummat manusia. Yang diperselisishkan
ialah tentang siapakah yang menjadi hakim terhadap perbuatan mukhallaf sebelum
rosul dibangkitkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Khallaf Abdul Wahab, ilmu usul fiqih, semarang:DINA UTAMA, 1994
Umam khoirul, dkk. Ushul fiqih 1,Bandung,CV
Pustaka Setia.2000
Umam airul,dkk. Ushul fiqih 1,IAIN Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar