Selasa, 29 November 2016

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN



BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Perpajakan
Dasen Pengampu : Danang Kurniawan, S.E,.M.M







Disusun Oleh :

Muhammad Agus Purnomo             (1320210258)

Qurrotul Aini Silfiyana                    (1320210257)

Khilyatun Nisa`  (1320210270)



 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH/EKONOMI SYARI’AH (ES)
TAHUN 2016
BAB 1
PENDAHULUAN
1.      A
       I.            Latar Belakang Masalah
Didalam UUD 1945  Pasal 33 menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dipungut berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000. Pajak ini bukan merupakan jenis pajak baru, karena pernah ada jenis pajak jenis itu, yaitu Bea Balik Nama (BBN) atas tanah. Munculnya pajak BPHTB dilatarbelakangi pemikiran bahwa tanah dan bangunan sebagai sumber daya alam memiliki fungsi sosial, disamping memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga memberi dampak ekonomi kepada pemiliknya. Oleh karena itu, bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan wajib menyerahkan sebagian dari nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak, yaitu BPHTB.

    II.            Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan ( BPHTB)?
2.      Bagaimana Cara Menghitunga BPHTB?
3.      Bagaiaman Surat Terutang BPHTB dibedakan atas yang dimilikinya
4.      Apa saja Surat Ketetapan BPHTB?
5.      Bagaimana cara permohonan keberatan, banding, dan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian BPHTB
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau banguna, yang selanjutnya disebut pajak. Dengan demikian, objek pajak (BPHTB) adalah tanah, bangunan serta tanah dan bangunan.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, meliputi pemindahan hak atas tanah dan bangunan karena jual beli, tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, penyertaan modal dari orang pribadi  atau badan hukum lain yang berupa tanah atau bangunan, pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama. Selain itu perolehan hak atas tanah dan bangunan juga bisa berasal dari pemindahan hak atas tanah dan bangunan karena penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, serta hadiah.
Perolehan hak atas tanah dan bangunan selain berasal dari pemindahan bisa juga berasal dari pemberian hak baru, karena pelanjutan pelepasan hak, diluar pelepasan hak. Hak atas tanah dan bangunan meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas rumah susun atau hakpengelolaan.
Sedangakan perolehan atas tanah dan bangunan yang dikecualikan dari BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh perwakilan diplomatic, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik, negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaanpembangunan guna kepentingan umum, badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri serta orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama yang dikarena wakaf, warisan dan untuk kepentingan ibadah.[1]
Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek pajak  yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut Undang-Undang BPHTB.[2]
Karena yang menjadi subyek pajak adalah pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, maka yang menjadi wajib pajak tentulah pihak yang memeperoleh hak atas tanah dan bangunan sesuai dengan perolehan hak yang terjadi. Bila kewajiban ini belum terpenuhi maka perolehan hak akan tertunda karena pejabat yang berwenang tidak akan mengesahkan perolehan hak tersebut sebelum BPHTB terutang dibayar/ dilunasi oleh wajib pajak.[3]
B.     Tata Cara Penghitungan BPHTB
Untuk menentukan besarnya BPHTB adalah
BPHTB = Nilai Pajak Objek Pajak Kena Pajak x Tarif pajak
              = (NPOP – NPOPTKP) x 5 %
            Nilai perolehan objek pajak ditentukan berdasarkan cara dimilikinya hak atas tanah dan bangunan. Jika hak atas tanah dan bangunan diperoleh dari:
1)      Jual beli maka nilai perolehannya adalah harga transaksi
2)      Tukar-menukar maka nilai perolehannya adalah nilai pasar objek pajak
3)      Hibah, maka nilai perolehannya adalah nilai pasar objek pajak
4)      Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, nilai perolehannya  adalah nilai pasar objek pajak.
5)      Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan maka nilai perolehannya adalah nilai pasar objek pajak
6)      Penunjukan pembeli dalam lelang, maka nilai perolehannya adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah Lelang
7)      Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar
8)      Pemberian karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, maka nilai perolehannya adalah nilai pasar objuk pajak
9)      Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, maka nilai perolehannya adalah nilai pasar objek pajak.
Nilai perolehan objek pajak di atas harus disesuaikan dengan nilai jual objek pajak. Jika nilai jual bjek pajak ternyata lebih besar dari nilai transaksi maka yang digunakan tetap nilai jual objek pajak. Tetapi jika nilai jual objek pajak lebih rendah daripada nilai perolehan objek pajak maka yang digunakan adalah nilai perolehan objek pajak.
NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp 60.000.000,00. Perlu menjadi catatan bahwa NPOPTKP sering mengalami penyesuaian. Tarif pajak ditetapkan sebesar 5 %.
Sebagai contoh, pada tanggal 1 Maret 2003, saudara Amad membeli taah dengan bangunan yang dimiliki nilai Rp 100.000.000,00.
Maka besarnya BPHTB adalah:
NPOP                                                 = Rp 100.000.000,00
NPOPTKP                                         =         60.000.000,00
NPOPKP                                           =         40.000.000,00
Pajak terutang             5% x 40.000.000,00   =           2.000.000,00
Perolehan hak atas tanah da bangunan sebesar Rp 100.000.000,00 akan dikenakan BPHTB sebesar Rp 2.000.000,00.[4]
C.    Saat Terutang  BPHTB
Sarat terutang atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan dibedakan atas dasar cara dimilikinya hak atas tanah dan bangunan jika hak atas tanah dan bangunan diperoleh dari:
1.      Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta, untuk:
a.       Jual beli
b.      Tukar-menukar
c.       Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya
d.      Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
e.       Penggabungan usaha
f.       Peleburan usaha
g.      Pemekaran usaha
h.      Hibah
2.      Sejak tanggal penunjukkan pemenang lelang, untuk lelang
3.      Sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap; putusan hakim.
4.      Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor pertanahan; untuk hibah wasiat dan waris.
5.      Sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak, untuk:
a.       Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak
b.      Pemberian hak baru di luar pelepasan hak .




D.    Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
1)   Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar ( SKBKB )
SKBKB adalah surat ketetapan yang menentukan bearnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.
SKBKB diterbitkan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang dibayar. SKBKB dapat diterbitkan oleh Direktur jendral Pajak dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutang pajak.
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBK ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan (maksimal 24 bulan) dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan terbitnya SKBKB.
2)   Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan ( SKBKBT )
SKBKBT adalah surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. SKBKBT diterbitkan apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah diterbitkannya SKBKBT.
SKBKB dapat diterbitkan oleh Direktur jendral Pajak dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutang pajak. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKBT ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
3)   Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan ( STB )
STB adalah surat untuk melakuka tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.
STB diterbitkan apabila:
a.       Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar
b.      Dari hasil pemeriksaan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung,
c.       Wajib pajak dikanakan sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.
Jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dalam STB sebagaimana dimaksud dalam poin a dan b ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%  sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan sejak saat terutangnya pajak. Sedangkan untuk poin c tidak ditambah sanksi karena tidak ada sanksi atas sanksi.
E.     Permohonan Keberatan, Banding, dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran BPHTB
a.       Keberatan dan Banding
1.      Tata cara penyelesaian keberatan
a)      Wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jendral Pajak atas suatu : SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN.
b)      Keberatan diajukan dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
c)      Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 bulan sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.
d)     Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksudkan pada poin b dan c tidak dianggap sebagai Surat Keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.
e)      Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jendral Pajak atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan.
f)       Direktur Jendral Pajak dalam jangka waktu 12 bula sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusa. Keputusan Direktur Jendral Pajak dapat berupa: mengabulka seluruhnya, mengabulkan sebagian, menolak, menambah besarnya jumlah pajak yang terutang.
g)      Apabila dalam jangka waktu 12 bulan telah lewat dan Direktur Jendral Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan diaggap dikabulkan.
h)      Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
i)        Apabila pengajuan keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% sebualan untuk jagka waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkan Keputusan Keberata.
2.      Tata cara penyelesaian banding
a)      Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Pajak.
b)      Banding diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan keberatan diterima, dengan cara:
                                                                    i.    Tertulis dan dalam bahasa Indonesia
                                                                  ii.    Mengemukakan alasan-alasan yang jelas.
                                                                iii.    Dilampiri salinan Surat keputusan Keberatan.
c)      Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
d)     Apabila permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbala bunga sebesar 2% sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitka Putusan Banding.
b.      Pengembalian Kelebihan Pembayaran BPHTB
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak kepada Direktur Jendral Pajak, antara lain dalam hal:
1.      Pajak yang dibayarkan lebih besar daripada yang seharusnya terutang.
2.      Pajak yang terutang sudah dibayar oleh Wajib pajak sebelum akta ditanda tangani, namun perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut batal.
Setelah melakukan pemeriksaan ( baik pemeriksaan kantor maupun pemeriksaan lapangan), Direktur Jendral Pajak akan menerbitakan
1.      SKBLB, apabila:
a)      Pajak yang dibayar ternyata lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang, atau
b)      Dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang.
2.      SKBN, apabila jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang.
Direktur Jendral Pajak dalam jangka waktu 12 bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak, harus memberikan keputusan. Apabila jangka waktu tersebut telah terlampaui dan Direktur Jendral Pajak tidak memberi keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pajak dianggap dikabulkan serta SKBLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 bulan.
Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan dalam jangka waktu paling lam 2 bulan sejak diterbitkannya SKBLB. Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah lewat jangka waktu 2 bulan, Direktur Jendral Pajak memberikan imbalan bunga 2% sebulan.[5]


[1] Supramono dan Thesia Woro Damayanti, Perpajakan Indonesia: Mekanisme dan Perhitungan , Yogyakarta, ANDI OFFSET, 2005, hlm.112.
[2] Mardiasmo, Perpajakan, Yogyakarta, ANDI OFFSET, 2013, Edisi Revisi , hlm. 362.
[3] Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan: Teori&Praktek, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2003, hlm.75.
[4] Loc. Cit, hlm. 113-114.
[5]  Mardiasmo, Op. Cit, hlm. 364-370.
















































BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau banguna, yang selanjutnya disebut pajak. Dengan demikian, objek pajak (BPHTB) adalah tanah, bangunan serta tanah dan bangunan.
Tata Cara Penghitungan BPHTB
Untuk menentukan besarnya BPHTB adalah
BPHTB = Nilai Pajak Objek Pajak Kena Pajak x Tarif pajak
              = (NPOP – NPOPTKP) x 5 %
Nilai perolehan objek pajak ditentukan berdasarkan cara dimilikinya hak atas tanah dan bangunan.
Sarat terutang atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan dibedakan atas dasar cara dimilikinya hak atas tanah dan bangunan jika hak atas tanah dan bangunan diperoleh dari:
1.      Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta, untuk: Jual beli,Tukar-menukar,Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, Penggabungan usaha, Peleburan usaha,Pemekaran usaha,Hibah
2.      Sejak tanggal penunjukkan pemenang lelang, untuk lelang
3.      Sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap; putusan hakim.
4.      Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor pertanahan; untuk hibah wasiat dan waris.
5.      Sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak, untuk:
a.       Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak
b.      Pemberian hak baru di luar pelepasan hak .
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
SKBKB adalah surat ketetapan yang menentukan bearnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.
Permohonan Keberatan, Banding, dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran BPHTB
a.       Keberatan dan Banding
b.      Penyelesaian banding



Daftar Pustaka

Supramono dan Thesia Woro Damayanti, Perpajakan Indonesia: Mekanisme dan Perhitungan , Yogyakarta, ANDI OFFSET, 2005.
Mardiasmo, Perpajakan, Yogyakarta, ANDI OFFSET Edisi Revisi 2013.
Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan: Teori&Praktek, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2003.